Manfaat dan Masalah Hutan Tanaman Industri (HTI)

Hutan Tanaman Industri

Kebutuhan masyarakat akan penggunaan kertas sangat banyak. Setiap hari kantor, sekolah, maupun instansi pemerintah menggunakan kertas. Banyaknya kertas yang digunakan memengaruhi jumlah hutan di Indonesia. Jika penggunaan kertas terus meningkat tanpa diikuti oleh pelestarian hutan, akan menimbulkan kerusakan alam yang parah. Terutama pada kerusakan hutan alami. Tak hanya pada industri kertas hutan tanaman industri juga memengaruhi industri lain misalnya mebel, bahan bakar, dsb.

Hutan Tanaman Industri (HTI)

Hutan merupakan kekayaan luar biasa bagi negara kita. Pemanfaatan sumber daya alam hutan menjadi pemasukan besar bagi negara yaitu nomer dua dalam kategori non migas. Tentu saja pemanfaatan alam hutan menjadi lirikan bagai berbagai pihak entah itu perusahaan milik negara maupun swasta. Hutan telah menjadi lahan basah yang rentan sekali dengan penyalahgunaan.

Hutan di Indonesia telah mengalami penyusutan luas yang sangat besar. Di Jambi saja luas hutan alami yang tadinya 2 juta hektar telah menyusut menjadi separuhnya. Pemanfaatan kayu dengan mengambil dari hutan alami tidak mungkin dilakukan lagi untuk itulah diciptakan sebuah solusi baru. Salah satunya dengan penciptaan hutan tanaman industri (HTI).

HTI adalah sebuah usaha untuk membuka lahan dan menanaminya dengan satu jenis pohon tertentu. Misalnya akasia, jati, eukaliptus, Pemilihan jenis pohon ini ditujukan untuk mendukung industri tanpa mengambil pohon dari hutan alami. Pembangunan HTI dilakukan pada lahan hutan alami yang sudah mengalami deforesasi atau degradasi. Usaha HTI ini mulai dilakukan sejak tahun 1990. Semenjak adanya HTI menimbulkan manfaat namun di sisi lain juga menimbulkan kerugian.

Manfaat Hutan Tanaman Industri

HTI mendorong peningkatan tenaga kerja yang tinggi. Pembangunan HTI memerlukan tenaga-tenaga terampil yang sangat banyak. Apalagi pembangunan HTI memiliki proses jangka panjang. Dampak positifnya adalah pemberdayaan kemampuan masyarakat sekitar hutan sehingga meningkatkan tingkat ekonomi mereka. Dengan bermunculannya HTI maka negara diharap mampu memasok tenaga dari dalam negeri sehingga tidak terjadi pengambilalihan hutan oleh pihak asing.

Selain itu HTI mampu memenuhi produksi industri dalam negeri misalnya kertas, kayu lapis, mebel, dsb. Dengan HTI diharapkan perusahaan swasta tidak melakukan pembalakan liar dalam usahanya memenuhi produksi. Untuk industri kertas misalnya pemerintah telah melarang pengambilan pohon dari hutan alami. Oleh sebab itu perusahaan swasta harus memiliki HTI sendiri untuk memenuhi produksinya.

HTI dianggap mampu menjaga lingkungan. Peningkatan HTI dianggap mampu mereduksi emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh kota-kota besar. Target yang dikejar oleh pemerintah adalah meningkatkan HTI sebanyak 15 persen per tahun. Jika target ini tercapai maka luas HTI di Indonesia akan bertamabah 1,6 juta hektar. Itu artinya total jumlah luas HTI di Indonesia menjadi 14,3 juta hektar di tahun 2020 nanti.

Sementara itu, jumlah area hutan alami yang rusak sekitar 51 juta hetar dan HTI baru bisa megijsi 4 juta hektar kerusakan itu. Dampak pembangunan HTI terhadap alam cukup besar jika target ini tercapai. Untuk satu pohon akasia saja mampu menyerap CO2 sebanyak 400 kg sementara satu pohon eucalyptus sp sekitar 300 kg Co2. Tentunya perluasan HTI diharapkan mampu menyerap jutaan ton gas CO2.

Tujuan HTI lainnya adalah pengembangan tanaman yang mampu menyediakan energi alternatif atau biomassa. Pengadaan energi alternatif sangat dibutuhkan untuk mengisi energi lain yang kian menyusut misalnya minyak bumi. Namun seiring perkembangan waktu keberadaan HTI mulai menuai masalah. Hal ini disebabkan keberadaannya yang mulai dipolitisir. Apa saja masalah yang ditimbulkan oleh HTI?

Masalah yang ditimbulkan Hutan Tanaman Industri

Seharusnya HTI hanya dibangun dari lahan-lahan yang bersifat kritis namun kenyataannya HTI justru dibangun pada lahan milik rakyat dan bahkan dari hutan alami yang masih bertanah gambut. Pohon jenis akasia dan eukaliptus yang disarankan sebagai tanaman HTI sebenarnya membutuhkan air dan nutrisi yang sangat banyak.

Padahal lahan hutan yang kristis tidak mencukupi kebutuhan kedua tanaman ini sehingga masa tanam menjadi panjang. Para pengelola HTI akhirnya membelokkan kebijakan pemerintah ini dengan mempergunakan lahan rakyat. Dari sinilah muncul banyak masalah.

Dampak sosial yang muncul adalah terjadinya perebutan lahan yang memicu konflik. Berbagai kekerasan terjadi seputar perebutan lahan yang biasanya terjadi pada kelompok masyarakat dan perusahaan swasta atau perusahaan milik negara. Biasanya, para pengusaha akan mengusulkan lahan yang akan dibangun HTI kepada pemerintah.

Sayangnya kerja pemerintah dari bawah sampai pusat tidak teliti dan mungkin diindikasikan terjadi penyuapan sehingga lahan masyarakat ikut dilegalkan dalam usaha HTI. Tak jarang masyarakat justru disuruh keluar dari tempat tinggalnya sendiri karena izin usaha yang tidak mengindahkan kepentingan rakyat.

Iming-iming untuk mengalokasikan tenaga kerja dari masyarakat setempat pada kenyataannya hanya menjadi isapan jempol. Para pengusaha maupun pemilik modal hanya mau menggali sebesar-besarnya potensi daerah tersebut tanpa memedulikan kesejahteraan masyarakat setempat. Para pengusaha berasalan karena penduduk asli sangat minim ketrampilan dan pendidikan.

Seharusnya mereka bertanggung jawab atas ketrampilan dan pendidikan masyarakat sekitar agar kesejahteraan tidak berat sebelah. Justru tenaga kerja dari luar daerah yang makmur sementara penduduk asli tetap miskin. Akhirnya yang terjadi adalah konflik antar masyarakat yang tak pernah berhenti. Kesenjangan antara si miskin dan kaya semakin menimbulkan kecemburuan sosial.

Jika hal ini terus dibiarkan maka jaminan keamanan akan terus merosot. Masyarakat merasa tidak aman dan nyaman dengan tempat tinggalnya sendiri. Intimidasi dan ancaman akan terus berlangsung dan hal ini bisa terjadi dalam jangka waktu lama. Jika berlarut-larut masalah ini bisa menjadi bom waktu yang meledakkan kekerasan masal.

Secara ekologi HTI turut menuai masalah yang semakin pelik. Penanaman hanya satu jenis saja ternyata menurunkan kualitas tanah. Pohon akasia dan eukaliptus dipilih karena proses pertumbuhannya yang cepat hingga kedua jenis tanaman ini ditanam dalam skala besar.

Sayangnya kedua jenis tanaman ini menyerap banyak air dan nutrisi tanah. Tanah akan mudah anjlok dan kurang subur. Apalagi kedua tanaman ini sangat disukai oleh hama. Jika area HTI itu dekat dengan lahan pertanian rakyat maka akan menimbulkan masalah. Hama dan penyakit akan berpindah ke lahan rakyat yang tentunya sangat merugikan.

Kasus monyet masuk perkampungan ataupun gajah yang merusak kebun rakyat sering mendominasi pemberitaan. Inilah salah satu efek negatif dari penanaman satu jenis pohon saja pada area yang luas.

Cara mengatasi dampak negatif ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam mengatur HTI harus lebih tegas dan detil. HTI jangan hanya dipandang sebagai lahan komersil semata namun sebagai lahan yang menguntungkan baik secara lingkungan maupun sosial. Hutan alami diciptakan Tuhan dengan beragam macam pohon dan varietas tanaman bukan tanpa tujuan.

Salah satunya adalah untuk menjaga ekologi alam. Jika hutan hanya ditanam satu jenis pohon saja tentunya akan merusak ekologi. Apalagi penanamannya dalam bentuk massif. Akibatnya beberapa jenis hewan tidak tahan hidup dan malah menjadi hama. Selain itu juga akan memusnahkan tanaman lain. oleh karena itu pemerintah diharuskan merevisi kembali kebijakan-kebijakannya dalam pengelolaan HTI.

 

You May Also Like

About the Author: Ziuma

Cuma Ingin Berbagi Informasi dan Pengetahuan Online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *